Foto dan Profil Albertina Ho (Hakim Sidang Gayus Tambunan)
Inilah Foto dan Profil Albertina Ho hakim sidang kasus markus Gayus Tambunan. Seorang wanita dan seorang hakim yang berjiwa besar. Sesosok Srikandi Hukum masa kini.
Profile Hakim Ketua Albertina Ho
Lahir: Maluku Tenggara, 1 Januari 1960
Pekerjaan: Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Karier Albertina Ho
# Calon hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta (1986-1990)
# Hakim Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah (1990-1996)
# Hakim Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah (1996-2002)
# Hakim Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah (2002-2005)
# Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (2005-2008)
# Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (sejak Agustus 2008)
Pendidikan Albertina Ho
# SD Ambon, lulus 1973
# SMP Katolik Bersubsidi Ambon, lulus 1975
# SMA Negeri II Ambon, lulus 1979
# Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, lulus 1985
# Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman, lulus 2004
7 SEPTEMBER 2009
Anggota majelis hakim yang menghukum Romli Atmasasmita dua tahun penjara dalam perkara korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum.
12 FEBRUARI 2010
Berbeda pendapat dengan majelis hakim yang menghukum Sigid Haryo Wibisono 15 tahun penjara karena terbukti turut serta menganjurkan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Albertina berpendapat Sigid harus dihukum lebih berat karena terbukti secara tidak langsung merencanakan pembunuhan Nasrudin.
23 JUNI 2010
Ketua majelis hakim yang memvonis Marsiyah satu bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan. Nenek 75 tahun itu terbukti ikut menganiaya adik menantunya.
Lahir: Maluku Tenggara, 1 Januari 1960
Pekerjaan: Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Karier Albertina Ho
# Calon hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta (1986-1990)
# Hakim Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah (1990-1996)
# Hakim Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah (1996-2002)
# Hakim Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah (2002-2005)
# Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (2005-2008)
# Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (sejak Agustus 2008)
Pendidikan Albertina Ho
# SD Ambon, lulus 1973
# SMP Katolik Bersubsidi Ambon, lulus 1975
# SMA Negeri II Ambon, lulus 1979
# Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, lulus 1985
# Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman, lulus 2004
7 SEPTEMBER 2009
Anggota majelis hakim yang menghukum Romli Atmasasmita dua tahun penjara dalam perkara korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum.
12 FEBRUARI 2010
Berbeda pendapat dengan majelis hakim yang menghukum Sigid Haryo Wibisono 15 tahun penjara karena terbukti turut serta menganjurkan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Albertina berpendapat Sigid harus dihukum lebih berat karena terbukti secara tidak langsung merencanakan pembunuhan Nasrudin.
23 JUNI 2010
Ketua majelis hakim yang memvonis Marsiyah satu bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan. Nenek 75 tahun itu terbukti ikut menganiaya adik menantunya.
Perjalanan Kariri Hakim Albertina Ho di Dunia Hukum
PENDAPAT hakim perempuan itu mengentak sidang di Pengadilan Ne-geri Jakarta Selatan. Hari itu, Kamis pekan kedua Februari lalu, Albertina Ho tidak setuju dengan vonis fifteen tahun untuk Sigid Haryo Wibisono. Ia berpendapat Sigid seharusnya dihukum lebih berat. Pandangan Albertina itu tertuang dalam pendapat berbeda atau dissenting perspective yang dibaca menjelang ketua majelis hakim mengetukkan palu.
Malam sebelum sidang pembacaan putusan, musyawarah di salah satu rumah dinas hakim gagal mencapai kata mufakat. Albertina tidak mau berkompromi dengan Charis Mardiyanto dan Harry Sasangka, dua hakim lainnya. Charis dan Harry berpendapat Sigid hanya terbukti turut serta menganjurkan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Sedangkan Albertina yakin bos media itu yang secara tidak langsung merencanakan menghilangkan nyawa Nasrudin. Buktinya, Sigid bertemu Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, membicarakan bagaimana menghentikan teror Nasrudin. "Itu untuk pembelajaran publik, hakim tidak bisa didikte pimpinan dan anggota majelis hakim lain," kata Albertina ketika ditanya tentang pendapat yang berbeda itu.
Albertina, yang lahir 50 tahun lalu, tak sekali ini saja memegang perkara "panas". Pada 7 Sep tahun lalu, ia tak ragu menghukum pakar hukum pidana Romli Atmasasmita dua tahun penjara. Romli terbukti menerima uang hasil korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pada Juni lalu, hati nurani Albertina kembali diuji. Ia harus memutus perkara pidana yang dilakukan Marsiyah, 75 tahun. Nenek asal Banyumas itu bersama Yuswati Hasanah, 33 tahun, dituduh mengeroyok Febriyanti, adik mantan suami Yuswati pada fifteen Nov tahun lalu.
Akhirnya, Albertina menghukum perempuan renta itu satu bulan dengan masa percobaan dua bulan. Ia mengatakan tidak mungkin membebaskan Marsiyah. "Kalau dibebaskan, bagaimana dengan ulah kakek-kakek yang memerkosa? Meski sudah tua, nenek ini terbukti menganiaya orang," kata Albertina. Ia memperlihatkan keadilan itu dengan tidak memenjarakan Marsiyah.
Sejak kelas lima sekolah dasar, Albertina memilih berpisah dari orang tuanya, demi mengecap pendidikan yang lebih baik. Neneknyalah yang menyarankan Albertina pindah sekolah dari Dobo, Maluku Tenggara, ke sekolah dasar yang lebih maju di Kota Ambon, Maluku. Terbiasa tidak bersepatu, ia kebingungan saat harus memakai kaus kaki saat pertama kali masuk sekolah.
Di Ambon, Albertina hidup menumpang di rumah saudara. Tidak gratis. Sehabis sekolah, ia harus membantu menjaga warung kelontong di pasar Ambon. Demi impiannya terus bersekolah, ia menjadi pelayan warung kopi untuk menyambung hidup saat duduk di sekolah menengah atas.
Setelah lulus, ia meneruskan kuliah di Yogyakarta. Albertina diterima di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Meski mengenyam kuliah hukum, Albertina mengaku tidak bercita-cita menjadi hakim. "Mengalir saja," ujarnya. Guru matematikanya kecewa mengetahui Albertina memilih kuliah jurusan hukum.
Setelah wisuda, ia tak mau kembali ke Maluku. Ia melamar lowongan calon hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan dosen di Universitas Brawijaya, Malang. Dengan alasan tidak punya biaya untuk pergi ke Malang, Albertina memilih mengikuti seleksi calon hakim.
Kariernya berawal dari Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 1986. Statusnya masih calon hakim. Empat tahun kemudian, setelah lulus calon hakim, ia ditempatkan di Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah.
Pandangannya menerawang saat menceritakan pengalaman pertamanya menghukum orang. Ia sudah tidak ingat nama orang yang duduk di kursi terdakwa itu. Yang dia ingat, jaksa menuduh orang itu melakukan penipuan dan penggelapan. Albertina memutus orang itu hanya terbukti melakukan penggelapan.
Enam tahun di Tegal, Albertina pindah ke Pengadilan Negeri Temanggung. Pada 2002, ia diputar ke Pengadilan Negeri Cilacap. Untuk pergi ke kantor, ia memilih memakai sepeda motor. Di sela kesibukannya menangani perkara, Albertina meneruskan kuliahnya di Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Dari Cilacap, ia ditarik ke Mahkamah Agung pada pertengahan 2005. Ia mendapat tugas baru sebagai asisten koordinasi, yang tugasnya mirip panitera. Ia juga merangkap sebagai Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Marianna Sutadi. Di Merdeka Utara, kantor Mahkamah Agung, Albertina tidak memegang kasus seperti pengadilan alias hakim yustisial.
Selama menjadi sekretaris, Albertina terkenal suka menolak tamu yang ingin bertemu dengan Marianna. Argumennya jelas: hakim dilarang menemui pihak yang beperkara. Tindakan tegas Albertina itu diakui oleh Mas Achmad Santosa. "Pengacara-pengacara yang ingin ketemu Bu Marianna pasti ditolaknya," kata anggota Tim Pembaruan Mahkamah Agung itu.
Albertina kembali memegang palu setelah dipindahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2008.
Selama twenty tahun menjadi hakim, Albertina kini tinggal di rumah dinas hakim di dekat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain mobil yang dibeli setahun lalu, hartanya hanya berupa sebuah rumah di Yogyakarta seharga Rp 90 juta. Permohonan kreditnya sempat ditolak bank karena gajinya tidak mencukupi syarat untuk mencicil rumah. "Katanya kalau PNS ngurus kredit rumah gampang. Kok, ini ndak bisa juga," ujarnya. Akhirnya, Albertina bisa membeli rumah tersebut setelah gajinya digabung dengan penghasilan saudaranya.
Gaji hakim memang minim. Pada 1988, saat menjadi calon hakim di Pengadilan Yogyakarta, Albertina hanya mendapat upah Rp 81 ribu per bulan. Ketika diangkat menjadi hakim, ia mengantongi gaji sekitar Rp 300 ribu per bulan. Untuk menambal kebutuhan sehari-hari, Albertina meminjam di koperasi pengadilan. "Tapi pinjamnya diam-diam, malu," ujar perempuan yang gemar bermain tenis ini.
Godaan uang bukan tidak pernah ada. Budi Priyanto, wakil panitera Pengadilan Negeri Cilacap, memberikan kesaksian. Menurut Budi, banyak pengacara yang menawarkan uang kepada Albertina. "Tapi selalu ditolak," ujar Budi. Albertina juga menolak pengacara itu datang ke rumahnya. Albertina hanya mau menerima pihak yang beperkara di kantor atau di ruang sidang.
Tidak hanya menolak tamu, Albertina punya cara jitu "mensterilkan" putusan. Ia mengetik sendiri putusan daripada meminta bantuan panitera pengganti-meski, dengan demikian, dia sering membawa pulang pekerjaan. "Jadi tidak bisa bocor. Yang tahu isi putusan cuma saya dan anggota majelis hakim lainnya," kata dia. (Berbagai Sumber)
Malam sebelum sidang pembacaan putusan, musyawarah di salah satu rumah dinas hakim gagal mencapai kata mufakat. Albertina tidak mau berkompromi dengan Charis Mardiyanto dan Harry Sasangka, dua hakim lainnya. Charis dan Harry berpendapat Sigid hanya terbukti turut serta menganjurkan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Sedangkan Albertina yakin bos media itu yang secara tidak langsung merencanakan menghilangkan nyawa Nasrudin. Buktinya, Sigid bertemu Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, membicarakan bagaimana menghentikan teror Nasrudin. "Itu untuk pembelajaran publik, hakim tidak bisa didikte pimpinan dan anggota majelis hakim lain," kata Albertina ketika ditanya tentang pendapat yang berbeda itu.
Albertina, yang lahir 50 tahun lalu, tak sekali ini saja memegang perkara "panas". Pada 7 Sep tahun lalu, ia tak ragu menghukum pakar hukum pidana Romli Atmasasmita dua tahun penjara. Romli terbukti menerima uang hasil korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pada Juni lalu, hati nurani Albertina kembali diuji. Ia harus memutus perkara pidana yang dilakukan Marsiyah, 75 tahun. Nenek asal Banyumas itu bersama Yuswati Hasanah, 33 tahun, dituduh mengeroyok Febriyanti, adik mantan suami Yuswati pada fifteen Nov tahun lalu.
Akhirnya, Albertina menghukum perempuan renta itu satu bulan dengan masa percobaan dua bulan. Ia mengatakan tidak mungkin membebaskan Marsiyah. "Kalau dibebaskan, bagaimana dengan ulah kakek-kakek yang memerkosa? Meski sudah tua, nenek ini terbukti menganiaya orang," kata Albertina. Ia memperlihatkan keadilan itu dengan tidak memenjarakan Marsiyah.
Sejak kelas lima sekolah dasar, Albertina memilih berpisah dari orang tuanya, demi mengecap pendidikan yang lebih baik. Neneknyalah yang menyarankan Albertina pindah sekolah dari Dobo, Maluku Tenggara, ke sekolah dasar yang lebih maju di Kota Ambon, Maluku. Terbiasa tidak bersepatu, ia kebingungan saat harus memakai kaus kaki saat pertama kali masuk sekolah.
Di Ambon, Albertina hidup menumpang di rumah saudara. Tidak gratis. Sehabis sekolah, ia harus membantu menjaga warung kelontong di pasar Ambon. Demi impiannya terus bersekolah, ia menjadi pelayan warung kopi untuk menyambung hidup saat duduk di sekolah menengah atas.
Setelah lulus, ia meneruskan kuliah di Yogyakarta. Albertina diterima di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Meski mengenyam kuliah hukum, Albertina mengaku tidak bercita-cita menjadi hakim. "Mengalir saja," ujarnya. Guru matematikanya kecewa mengetahui Albertina memilih kuliah jurusan hukum.
Setelah wisuda, ia tak mau kembali ke Maluku. Ia melamar lowongan calon hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan dosen di Universitas Brawijaya, Malang. Dengan alasan tidak punya biaya untuk pergi ke Malang, Albertina memilih mengikuti seleksi calon hakim.
Kariernya berawal dari Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 1986. Statusnya masih calon hakim. Empat tahun kemudian, setelah lulus calon hakim, ia ditempatkan di Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah.
Pandangannya menerawang saat menceritakan pengalaman pertamanya menghukum orang. Ia sudah tidak ingat nama orang yang duduk di kursi terdakwa itu. Yang dia ingat, jaksa menuduh orang itu melakukan penipuan dan penggelapan. Albertina memutus orang itu hanya terbukti melakukan penggelapan.
Enam tahun di Tegal, Albertina pindah ke Pengadilan Negeri Temanggung. Pada 2002, ia diputar ke Pengadilan Negeri Cilacap. Untuk pergi ke kantor, ia memilih memakai sepeda motor. Di sela kesibukannya menangani perkara, Albertina meneruskan kuliahnya di Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Dari Cilacap, ia ditarik ke Mahkamah Agung pada pertengahan 2005. Ia mendapat tugas baru sebagai asisten koordinasi, yang tugasnya mirip panitera. Ia juga merangkap sebagai Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Marianna Sutadi. Di Merdeka Utara, kantor Mahkamah Agung, Albertina tidak memegang kasus seperti pengadilan alias hakim yustisial.
Selama menjadi sekretaris, Albertina terkenal suka menolak tamu yang ingin bertemu dengan Marianna. Argumennya jelas: hakim dilarang menemui pihak yang beperkara. Tindakan tegas Albertina itu diakui oleh Mas Achmad Santosa. "Pengacara-pengacara yang ingin ketemu Bu Marianna pasti ditolaknya," kata anggota Tim Pembaruan Mahkamah Agung itu.
Albertina kembali memegang palu setelah dipindahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2008.
Selama twenty tahun menjadi hakim, Albertina kini tinggal di rumah dinas hakim di dekat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain mobil yang dibeli setahun lalu, hartanya hanya berupa sebuah rumah di Yogyakarta seharga Rp 90 juta. Permohonan kreditnya sempat ditolak bank karena gajinya tidak mencukupi syarat untuk mencicil rumah. "Katanya kalau PNS ngurus kredit rumah gampang. Kok, ini ndak bisa juga," ujarnya. Akhirnya, Albertina bisa membeli rumah tersebut setelah gajinya digabung dengan penghasilan saudaranya.
Gaji hakim memang minim. Pada 1988, saat menjadi calon hakim di Pengadilan Yogyakarta, Albertina hanya mendapat upah Rp 81 ribu per bulan. Ketika diangkat menjadi hakim, ia mengantongi gaji sekitar Rp 300 ribu per bulan. Untuk menambal kebutuhan sehari-hari, Albertina meminjam di koperasi pengadilan. "Tapi pinjamnya diam-diam, malu," ujar perempuan yang gemar bermain tenis ini.
Godaan uang bukan tidak pernah ada. Budi Priyanto, wakil panitera Pengadilan Negeri Cilacap, memberikan kesaksian. Menurut Budi, banyak pengacara yang menawarkan uang kepada Albertina. "Tapi selalu ditolak," ujar Budi. Albertina juga menolak pengacara itu datang ke rumahnya. Albertina hanya mau menerima pihak yang beperkara di kantor atau di ruang sidang.
Tidak hanya menolak tamu, Albertina punya cara jitu "mensterilkan" putusan. Ia mengetik sendiri putusan daripada meminta bantuan panitera pengganti-meski, dengan demikian, dia sering membawa pulang pekerjaan. "Jadi tidak bisa bocor. Yang tahu isi putusan cuma saya dan anggota majelis hakim lainnya," kata dia. (Berbagai Sumber)