Judi Sabung Ayam Online

Orang Gila Juga Punya Nurani

“Apa aja!” Jawabnya ketika ditanya nama. Ia tengah duduk sendirian di pinggiran jalan Dago, tepatnya di pinggir perempatan yang mengarah ke jalan Ganesa ITB Bandung, ketika kami menemuinya.

“Enam tilu (63)” kembali jawabnya ketika kami menanyakan berapa umurnya saat ini.

Pria berumur 63 tahun itu, berperawakan tinggi, mengenakan kaos oblong yang sudah kusut dan tidak bercelana. Tercium bau busuk ketika didekati. Walaupun penampilannya berantakan, namun ia ternyata tidaklah seburuk yang dikira banyak orang. Ia memang telah kehilangan kesadarannya, dalam artian di istilahkan sebagai orang gila, akan tetapi ia masih bisa di ajak berbicara, walaupun akhirnya banyak jawaban yang tidak nyambung dengan pertanyaan yang dilontarkan.

Rasa takut pastinya akan didapatkan ketika menemui pria yang mengaku berasal dari Bandung itu, tepatnya dari daerah Buah Batu seperti yang ia ungkapkan ketika ditanya alamat rumah berserta keluarganya, bukan hanya karena ia memang orang gila, namun ia juga terkadang suka mengagetkan orang-orang yang lewat dihadapannya, seperti yang ia lakukan ketika meminta sebatang rokok kepada kami.

Ketika obrolan berjalan, sesekali ia memotong dengan menanyakan “Jam berapa?” Pertanyaan itu ia lontarkan sebanyak tiga kali. Jawaban yang ia berikan dari setiap pertanyaan yang kami ajukan, tidaklah sepanjang kalimat pertanyaan itu sendiri, ia menjawabnya dengan singkat dan cepat.

Apa yang lalu harus diceritakan lagi dalam laporan penelitian dan hasil obrolan dengan orang gila ini? Apakah kami juga perlu mempertanyakan kenapa ia sampai gila? Kenapa ia lebih memilih menjadi orang gila yang berkeliaran dijalanan, kenapa ia tidak masuk ke rumah sakit jiwa, dimana orang-orang yang senasib dengannya dilindungi dan diberikan pengayoman? Apakah kami harus membantunya untuk mengenalkan dan menuntut keadilan? Dan, apakah ada keadilan dan Hak Asasi Manusia gila?

Tentunya paragraf yang berisikan pertanyaan-pertanyaan diatas bisa dijawab dengan sendirinya oleh yang membaca laporan ini. Inti yang kami dapatkan ketika berinteraksi dengan mereka (orang gila) adalah bahwa ternyata keberadaan mereka bukanlah sesuatu yang harus selalu diganjilkan, dianggap sampah, dibalik tekanan psikologis yang mengakibatkan kepada gangguan mental yang menghambat laju pikirannya. Orang gila masih mempunyai ‘nurani’, salah satunya tercermin dari narasumber (orang gila) yang kami hadapi, ketika ia meminta tape recorder kami, ia memintanya dengan paksa, namun ternyata tidak lantas merampasnya, ia berhenti ketika kami memberikan alasan kenapa kami tidak mesti memberikan recorder itu kepadanya, dan ia pun lalu melupakan permintaannya itu.

Deni, Sumarno,
Indrianti, Bestari
Comments
0 Comments