Lokalisasi Prostitusi PSK di Sanur Bali
Lokalisasi Prostitusi PSK di Sanur Bali - Lokalisasi di Jl Danau Tempe, Sanur ini dikenal banyak untuk kalangan kelas bawah. PSK yang beroperasi kebanyakan berasal dari kota kota di Jawa Timur dan Jawa Barat. Mereka beroperasi di bilik bilik gelap nan sempit di sekitaran Sanur.
Jangan bayangkan tempat yang layak bagi 'operasi' mereka. Sehari hari mereka menjual layanan seks berteman dinding kusam, dipan dari semen dan kasur busa tipis. Lampunya remang remang dengan suara musik dangdut berdentum.
Konsumen mereka juga dari kalangan kelas bawah. Tarifnya berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu sekali kencan. Lokasi yang hampir mirip juga ditemukan di Padanggalak, Sanur.
Jangan bayangkan tempat yang layak bagi 'operasi' mereka. Sehari hari mereka menjual layanan seks berteman dinding kusam, dipan dari semen dan kasur busa tipis. Lampunya remang remang dengan suara musik dangdut berdentum.
Konsumen mereka juga dari kalangan kelas bawah. Tarifnya berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu sekali kencan. Lokasi yang hampir mirip juga ditemukan di Padanggalak, Sanur.
Perkembangan
NYARIS di semua sudut kota budaya ini telah dirambah PSK (pekerja seks komersial). Penyebaran sudah ke mana-mana. Ada yang berdalih sebagai karyawati sebuah perusahaan, mahasiswi, dan banyak lagi dalih lainnya. Bahkan, di antara mereka ada yang ''berbaju'' sekolahan dengan menyebut dirinya siswi. Sementara praktiknya, bisa saja di hotel, atau terselubung di panti pijat. Kini ''penghuni'' di Sanur itu telah masuk kota. Berbicara prostitusi di Sanur tak bisa lepas dari lokalisasi bernama Carik di kawasan Lumintang. Konon, Lumintang juga awal mula prostitusi terorganisasi di Bali.
Sadar akan bisnis ini menggiurkan, transaksi wanita penghibur akhirnya dikelola secara profesional. Maka lahirlah satu ''lokalisasi'' yang namanya Carik di kawasan Lumintang. Lokalisasi ini dikelola secara apik oleh salah satu perkumpulan dan mempekerjakan puluhan PSK. Praktik bisnis seks ini akhirnya mencuatkan nama Lumintang sebagai kawasan prostitusi.
Seiring dengan berkembangnya pariwisata Sanur tahun 1970-an, banyak pemandu wisata akhirnya mencarikan tamunya PSK di kawasan Lumintang. Para PSK ini dibawa ke Sanur untuk memenuhi pesanan tamunnya. Lalu bagaimana penduduk Sanur bisa terpikat dengan bisnis ini? Ceritanya juga menarik. Ketika wisata Sanur berkembang sekitar tahun 1974, warga lokal yang kebanyakan penggarap mulai terpinggirkan. Mata pencaharian mereka membuat kapur dengan bahan kerang laut terjepit dan dilarang.
Ruang untuk menambatkan jukung juga dicaplok hotel. Apalagi, penghasilan dari menanam bangkuang nyaris tak memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini praktis membuat mereka terjepit. Di sisi lain, pariwisata terus berkembang pesat. Penjepitan ekonomi makin menjadi-jadi.
Di tengah kekalutan ekonomi ini, di Sanur muncul rencana membangun mes bagi angkatan laut. Tanahnya milik Gung Ruma yang dijual kepada salah satu angkatan. Namun, rencana ini mangkrak dan lahanya telantar. Lahan ini akhirnya dikelola orang-orang lokal dengan membangun bedeng-bedeng darurat untuk disewakan kepada wisatawan, termasuk PSK yang praktik part time. Lokasi ini dikenal dengan sebutan Wisma Bahari.
Bisnis rumah bedeng di kawasan pantai Kesumasari, Sumawang ini ternyata berkembang pesat. Transaksi yang sumringah membuat warga lokal banyak beralih profesi dari petani dan nelayan sebagai pedagang nasi. Yang lebih bermodal mulai mencoba meniru bisnis rumah bedeng Wisma Bahari. Pelanggannya sudah jelas yakni para PSK. ''Saat itu bisnis esek-esek betul-betul menjadi penyelamat perekonomian warga lokal yang terjepit gairah pariwisata,'' ujar sumber tadi. Sementara sejumlah warga Sanur lainnya mulai merambah dunia pariwisata dengan posisi sebagai gardener, mengingat SDM mereka tergolong terbatas.
Beralih ke Sanggaran
Maraknya prostitusi karena dipicu perkembangan pariwisata, ternyata direspons birokrat saat itu. Zaman pemerintahn Bupati Badung Dewa Gede Oka, prostitusi ini coba dipindahkan ke salah satu tanah negara di Sanggaran. Langkah ini mengundang pro dan kontra. Namun, demi memudahkan lokalisasi Sanggaran tetap saja jalan walau hanya bertahan sekitar dua tahun.
Sebagian PSK lari ke Sumawang dan Belanjong. Belakangan ini konsentrasi PSK dikabarkan ada di Gerojogan arah selatan Sumawang. PSK lainnya mencari lahan baru. Bubarnya Sanggaran juga melahirkan kantong-kantong PSK di hotel.
Di tengah mewujudkan pariwisata Bali bernapaskan budaya dan menjadikan Denpasar sebagai kota budaya, bisnis maksiat ini ternyata makin subur. Tak hanya malam hari, siang hari pun transaksi tetap jalan. Ironis memang! Tetapi itulah realita yang dihadapi Denpasar sebagai kota budaya. Penyebaran mereka, tentu saja akan membuat citra kota ini menjadi kurang baik. Belum lagi dampak sosial yang ditimbulkannya.
Dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan utamnya penyakit, Yayasan Kerta Praja memberikan pengobatan gratis kepada PSK. Tak hanya itu, yayasan ini juga memiliki tujuh orang konselor yang tiap hari memberikan konseling kepada PSK yang ada di Kota Denpasar.
Pekerja sosial yang sering kali memberikan konseling mengatakan bahwa penyebaran mereka sudah ke mana-mana. Hampir di seluruh tempat di Kota Denpasar ini telah dirambah PSK. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, karena ''penyakit'' yang dibawa -- baik penyakit sosial maupun penyakit dalam arti sebenarnya -- bisa menularkan kepada warga yang lain. Oleh karena itu, pemantauan terus dilakukan.
Namun, pemantauan itu bukan pekerjaan mudah. Sebab, kini ada kecenderungan PSK didatangkan dari Jembrana dan Buleleng. Mereka di-booking hanya untuk satu hari. Sebab, mereka kebanyakan berprofesi sebagai pelajar.
Sadar akan bisnis ini menggiurkan, transaksi wanita penghibur akhirnya dikelola secara profesional. Maka lahirlah satu ''lokalisasi'' yang namanya Carik di kawasan Lumintang. Lokalisasi ini dikelola secara apik oleh salah satu perkumpulan dan mempekerjakan puluhan PSK. Praktik bisnis seks ini akhirnya mencuatkan nama Lumintang sebagai kawasan prostitusi.
Seiring dengan berkembangnya pariwisata Sanur tahun 1970-an, banyak pemandu wisata akhirnya mencarikan tamunya PSK di kawasan Lumintang. Para PSK ini dibawa ke Sanur untuk memenuhi pesanan tamunnya. Lalu bagaimana penduduk Sanur bisa terpikat dengan bisnis ini? Ceritanya juga menarik. Ketika wisata Sanur berkembang sekitar tahun 1974, warga lokal yang kebanyakan penggarap mulai terpinggirkan. Mata pencaharian mereka membuat kapur dengan bahan kerang laut terjepit dan dilarang.
Ruang untuk menambatkan jukung juga dicaplok hotel. Apalagi, penghasilan dari menanam bangkuang nyaris tak memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini praktis membuat mereka terjepit. Di sisi lain, pariwisata terus berkembang pesat. Penjepitan ekonomi makin menjadi-jadi.
Di tengah kekalutan ekonomi ini, di Sanur muncul rencana membangun mes bagi angkatan laut. Tanahnya milik Gung Ruma yang dijual kepada salah satu angkatan. Namun, rencana ini mangkrak dan lahanya telantar. Lahan ini akhirnya dikelola orang-orang lokal dengan membangun bedeng-bedeng darurat untuk disewakan kepada wisatawan, termasuk PSK yang praktik part time. Lokasi ini dikenal dengan sebutan Wisma Bahari.
Bisnis rumah bedeng di kawasan pantai Kesumasari, Sumawang ini ternyata berkembang pesat. Transaksi yang sumringah membuat warga lokal banyak beralih profesi dari petani dan nelayan sebagai pedagang nasi. Yang lebih bermodal mulai mencoba meniru bisnis rumah bedeng Wisma Bahari. Pelanggannya sudah jelas yakni para PSK. ''Saat itu bisnis esek-esek betul-betul menjadi penyelamat perekonomian warga lokal yang terjepit gairah pariwisata,'' ujar sumber tadi. Sementara sejumlah warga Sanur lainnya mulai merambah dunia pariwisata dengan posisi sebagai gardener, mengingat SDM mereka tergolong terbatas.
Beralih ke Sanggaran
Maraknya prostitusi karena dipicu perkembangan pariwisata, ternyata direspons birokrat saat itu. Zaman pemerintahn Bupati Badung Dewa Gede Oka, prostitusi ini coba dipindahkan ke salah satu tanah negara di Sanggaran. Langkah ini mengundang pro dan kontra. Namun, demi memudahkan lokalisasi Sanggaran tetap saja jalan walau hanya bertahan sekitar dua tahun.
Sebagian PSK lari ke Sumawang dan Belanjong. Belakangan ini konsentrasi PSK dikabarkan ada di Gerojogan arah selatan Sumawang. PSK lainnya mencari lahan baru. Bubarnya Sanggaran juga melahirkan kantong-kantong PSK di hotel.
Di tengah mewujudkan pariwisata Bali bernapaskan budaya dan menjadikan Denpasar sebagai kota budaya, bisnis maksiat ini ternyata makin subur. Tak hanya malam hari, siang hari pun transaksi tetap jalan. Ironis memang! Tetapi itulah realita yang dihadapi Denpasar sebagai kota budaya. Penyebaran mereka, tentu saja akan membuat citra kota ini menjadi kurang baik. Belum lagi dampak sosial yang ditimbulkannya.
Dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan utamnya penyakit, Yayasan Kerta Praja memberikan pengobatan gratis kepada PSK. Tak hanya itu, yayasan ini juga memiliki tujuh orang konselor yang tiap hari memberikan konseling kepada PSK yang ada di Kota Denpasar.
Pekerja sosial yang sering kali memberikan konseling mengatakan bahwa penyebaran mereka sudah ke mana-mana. Hampir di seluruh tempat di Kota Denpasar ini telah dirambah PSK. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, karena ''penyakit'' yang dibawa -- baik penyakit sosial maupun penyakit dalam arti sebenarnya -- bisa menularkan kepada warga yang lain. Oleh karena itu, pemantauan terus dilakukan.
Namun, pemantauan itu bukan pekerjaan mudah. Sebab, kini ada kecenderungan PSK didatangkan dari Jembrana dan Buleleng. Mereka di-booking hanya untuk satu hari. Sebab, mereka kebanyakan berprofesi sebagai pelajar.