Film Darah Garuda: Merah Putih II
Film Darah Garuda: Merah Putih II adalah salah satu dari sedikit film Indonesia yang patut mendapatkan sanjung puji. Bukan semata kemahirannya menyatukan semua unsur pembangun sebuah film, sehingga menjadi sebuah tontonan yang utuh. Melainkan juga pesan yang hendak ingin disampaikannya.
Lihatlah, betapa film produksi PT Media Desa Indonesia milik Hashim Djojohadikusumo dan Margate House Films itu, berhasil dengan rapi melaraskan unsur drama, romansa, nafsu kuasa, pengkianatan, dan pengorbanan dalam bingkai aksi peperangan yang menegangkan. Meski tidak sempurna benar, karena sebagaimana film aksi fiksi yang berangkat dari realitas perang yang sesungguhnya, ada sedikit noda di beberapa pengadeganannya.
Tapi itu semua, di bawah orkestrasi sutradara kembar Yadi Sugandi dan Conor Allyn, menjadikan film berdurasi 100 menit itu mengalir dengan menyenangkan, menegangkan, sekaligus mengharukan. Tidak sebagaimana logi pertamanya Merah Putih (2009) yang mengalir dengan lambat, membosankan, dan nyaris kurang greget. Sehingga membuat wartawan senior Rosihan Anwar berkomentar, "Jauh lebih bagus (film) Janur Kuning," katanya pada saat itu.
Kini, Darah Garuda: Merah Putih II yang merupakan bagian dari Trilogi Merdeka hadir dalam rupa yang lebih baik, dan membanggakan. Ron Allyn dan Conor Allyn yang menjadi penulis skenario, tahu bagaimana meramu intrik, ambisi, asmara, dan angkara menjadi kesatuan, dalam film aksi peperangan yang diklaim berangkat dari kejadian nyata itu.
62-65 Milliar Rupiah
Yadi Sugandi, director of photography sejumlah film berkelas seperti Laskar Pelangi (arahan Riri Riza), Under The Tree (Garin Nugroho), dan The Photograph (Nan T. Achnas) bahkan berbesar hati menjadi sutradara kembar dengan Conor Allyn yang debutan, untuk mewujudkan film megah yang tidak murah ini. Menurut Hashim seusai preview perdana Kamis (19/8), dibutuhkan sekitar 62-65 miliar rupiah untuk merampungkan Trilogi Merdeka.
Hasilnya, paling tidak di logi kedua ini, sangat mengesankan. Hal itu menjadi niscaya melihat orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat dikatakan para pekerja film yang masuk kategori dream team. Pada editing, ada nama Sastha Sunu, yang konon namanya dimasukkan sebagai ranking pertama penyunting gambar terbaik di Indonesia.
Sedangkan penataan musiknya dipercayakan kepada Thoersi Argeswara, salah satu pengisi music film terkemuka kita, yang komposisi untuk diisikan dalam film ini, musiknya dimainkan oleh Beijing Philharmonic Orchestra. Sedangkan art directornya digarap Iri Supit, salah seorang realisator setting yang mendekati realitas pengadeganan yang sesungguhnya.
Pendukung lakonnya, sejumlah aktor muda berbakat, yang kemampuan aktingnya makin menunjukan kapasitas keaktorannya. Meski tidak semua aktor ataupun aktris di film ini menunjukkan kemampuan seni akting yang sepatutnya, tapi kesungguhan mereka tetaplah luar biasa.
Lihatlah bagaiman Lukman Sardi, Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, T. Rifnu Wikana, Rahayu Saraswati, Astri Nurdin dan Rudy Wowor, serta Atiqah Hashiholan, Ario Bayu, Alex Komang dan bintang cilik Aldy Zulfikar berlakon dengan perannya masing-masing. Menyiratkan sebuah kesungguhan akting yang tidak mengecewakan. Khusus untuk Donny Alamsyah, dan T. Rifnu Wikana patut mendapat catatan tersendiri.
Sehingga kisah yang berpusat pada sebuah kelompok heroik para kadet yang menjadi tentara gerilya pada tahun 1947, yang menginduk pada pasukan Jenderal Besar Sudirman, ketika berperang melawan tentara pendudukan Belanda itu, mengalir dengan apik, dan tidak kacangan.
Meski tentu saja, sebagaimana dijanjikan Hashim, pada logi terakhirnya, yang menurut rencana rilis pada bulan Desember mendatang, Trilogi Merdeka tetap akan berakhir dengan happy ending.
Lihatlah, betapa film produksi PT Media Desa Indonesia milik Hashim Djojohadikusumo dan Margate House Films itu, berhasil dengan rapi melaraskan unsur drama, romansa, nafsu kuasa, pengkianatan, dan pengorbanan dalam bingkai aksi peperangan yang menegangkan. Meski tidak sempurna benar, karena sebagaimana film aksi fiksi yang berangkat dari realitas perang yang sesungguhnya, ada sedikit noda di beberapa pengadeganannya.
Tapi itu semua, di bawah orkestrasi sutradara kembar Yadi Sugandi dan Conor Allyn, menjadikan film berdurasi 100 menit itu mengalir dengan menyenangkan, menegangkan, sekaligus mengharukan. Tidak sebagaimana logi pertamanya Merah Putih (2009) yang mengalir dengan lambat, membosankan, dan nyaris kurang greget. Sehingga membuat wartawan senior Rosihan Anwar berkomentar, "Jauh lebih bagus (film) Janur Kuning," katanya pada saat itu.
Kini, Darah Garuda: Merah Putih II yang merupakan bagian dari Trilogi Merdeka hadir dalam rupa yang lebih baik, dan membanggakan. Ron Allyn dan Conor Allyn yang menjadi penulis skenario, tahu bagaimana meramu intrik, ambisi, asmara, dan angkara menjadi kesatuan, dalam film aksi peperangan yang diklaim berangkat dari kejadian nyata itu.
62-65 Milliar Rupiah
Yadi Sugandi, director of photography sejumlah film berkelas seperti Laskar Pelangi (arahan Riri Riza), Under The Tree (Garin Nugroho), dan The Photograph (Nan T. Achnas) bahkan berbesar hati menjadi sutradara kembar dengan Conor Allyn yang debutan, untuk mewujudkan film megah yang tidak murah ini. Menurut Hashim seusai preview perdana Kamis (19/8), dibutuhkan sekitar 62-65 miliar rupiah untuk merampungkan Trilogi Merdeka.
Hasilnya, paling tidak di logi kedua ini, sangat mengesankan. Hal itu menjadi niscaya melihat orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat dikatakan para pekerja film yang masuk kategori dream team. Pada editing, ada nama Sastha Sunu, yang konon namanya dimasukkan sebagai ranking pertama penyunting gambar terbaik di Indonesia.
Sedangkan penataan musiknya dipercayakan kepada Thoersi Argeswara, salah satu pengisi music film terkemuka kita, yang komposisi untuk diisikan dalam film ini, musiknya dimainkan oleh Beijing Philharmonic Orchestra. Sedangkan art directornya digarap Iri Supit, salah seorang realisator setting yang mendekati realitas pengadeganan yang sesungguhnya.
Pendukung lakonnya, sejumlah aktor muda berbakat, yang kemampuan aktingnya makin menunjukan kapasitas keaktorannya. Meski tidak semua aktor ataupun aktris di film ini menunjukkan kemampuan seni akting yang sepatutnya, tapi kesungguhan mereka tetaplah luar biasa.
Lihatlah bagaiman Lukman Sardi, Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, T. Rifnu Wikana, Rahayu Saraswati, Astri Nurdin dan Rudy Wowor, serta Atiqah Hashiholan, Ario Bayu, Alex Komang dan bintang cilik Aldy Zulfikar berlakon dengan perannya masing-masing. Menyiratkan sebuah kesungguhan akting yang tidak mengecewakan. Khusus untuk Donny Alamsyah, dan T. Rifnu Wikana patut mendapat catatan tersendiri.
Sehingga kisah yang berpusat pada sebuah kelompok heroik para kadet yang menjadi tentara gerilya pada tahun 1947, yang menginduk pada pasukan Jenderal Besar Sudirman, ketika berperang melawan tentara pendudukan Belanda itu, mengalir dengan apik, dan tidak kacangan.
Meski tentu saja, sebagaimana dijanjikan Hashim, pada logi terakhirnya, yang menurut rencana rilis pada bulan Desember mendatang, Trilogi Merdeka tetap akan berakhir dengan happy ending.