Buku Bola Politik dan Politik Bola
Resensi Buku Bola Politik dan Politik Bola - Sepakbola dan politik memiliki kesamaan. Seorang akademisi bergelar profesor mencoba bereksperimen memadukan pembahasan politik dan sepakbola dalam sebuah buku. Hasilnya, pembahasan yang kurang jelas ke mana arahnya. Masih ingat dengan Tjipta Lesmana? Ia memang lebih dikenal sebagai pakar dalam disiplin Ilmu Komunikasi dan pengamat politik. Namun begitu nama guru besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Jakarta ini sempat menghiasi perjalanan sejarah persepakbolaan Indonesia, yakni ketika menjabat sebagai ketua Komite Banding untuk kongres pemilihan ketua umum, wakil ketua umum, dan komite eksekutif PSSI periode 2011-2015.
Satu hal yang diingat dari Tjipta adalah saat Komite Banding menolak banding George Toisutta dan Arifin Panigoro, dan pada waktu yang bersamaan membatalkan pencalonan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie untuk maju dalam pemilihan tersebut. Peristiwa itu terjadi pada akhir Februari 2011.
Seperti diurai situs Sbobet Bola, Melalui buku berjudul Bola Politik dan Politik Bola; Ke mana Arah Tendangannya? Tjipta kembali "menghiasi" persepakbolaan Indonesia, meski kali ini posisinya berada di luar sistem, sebagai pengamat.
Efendi Ghazali dalam pengantar buku ini menyebut: "buku ini adalah sebuah eksperimen (inovatif)…. buku karya Profesor Tjipta Lesmana ini barangkali nantinya layak disebut The Ball Theory of Political Communication…" (hal. vii). Effendi menjelaskan eksperimen dalam buku ini sebagai: "Eksperimen Profesor Tjipta Lesmana dalam buku yang sedang Anda pegang, bergulir dengan gaya tiki-taka yang indah di seputar elemen-elemen: bola, strategi, pemain bintang, glamor/selebritas, gaji besar/biaya besar, mafia, skandal seks, skandal keuangan, dan beberapa unsur lainnya... Penulisnya menjadi analogi dan paralelisme Teori Bola dari Komunikasi Politik Indonesia" (hal. x).
Buku ini terbagi dalam delapan bab. Secara garis besar bisa dibagi dua pembahasan besar yakni mengenai sepakbola dan mengenai politik, seperti halnya dalam judul: bola politik dan politik bola. Tjipta mendefinisikan "politik bola" sebagai seni atau kebijakan tentang sepakbola Indonesia yang dijalankan atau diwacanakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan atau impian untuk itu. Sementara "bola politik" adalah aktivitas perpolitikan yang berujung pada pemilihan presiden 2014 (hal. xxiv-xxv).
Dalam bola politik, Tjipta bercerita bagaimana carut marut situasi menjelang kongres untuk memilih kepengurusan baru di PSSI tahun 2011. Tjipta juga berbagi pengalamannya sebagai ketua Komite Banding yang ia sebut selama bekerja timnya terus menerus mendapatkan intimidasi. Dengan sedikit berkelakar, Tjipta menuliskan: "Yang tidak pernah ada ialah tawaran uang… Pihak-pihak terkait mungkin menyadari bahwa para anggota Komite Banding tidak bisa disogok" (hal. 219).
Tjipta mengecam pihak-pihak yang ngotot menyuarakan kepentingannya sendiri dalam perebutan kursi PSSI-1 tahun 2011, secara khusus kepada GT-AP dan kelompok pendukungnya K78 yang begitu ngotot memaksakan jagoannya untuk maju, padahal sudah ditolak oleh Komite Banding. Tjipta menyebut bahwa sikap ngotot tersebut adalah keliru, karena K78 sudah berani head to head dengan FIFA. Padahal menurut Tjipta sepakbola adalah olahraga yang unik, karena segala peraturan harus tunduk pada FIFA. Tjipta juga membahas kekuatan-kekuatan siapa saja yang berada di balik kubu GT-AP, termasuk pandangan bahwa adanya cambur tangan oknum-oknum tentara (hal. 245).
Tjipta memang menyampaikan kritik cukup pedas terhadap kubu GT-AP, termasuk kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI). Ia menyebut LPI yang digagas oleh AP sejak awal tidak diakui atau ditentang oleh FIFA, dituding sebagai "breakaway league" atau "runaway league" (hal. 257). Apakah kata-kata menentang ini memang pernyataan resmi FIFA atau pendapat pribadi Tjipta? Mantan wartawan olahraga Sumohadi Marsis dalam buku Kritik Olahraga Sumohadi Marsis (2011) berpendapat bahwa penyebutan breakaway league bukan berarti kompetisi tersebut ilegal. Menurut Marsis, breakaway league bisa berarti liga "sempalan" atau bahkan liga "alternatif".
Tjipta selanjutnya mengkritik kepengurusan PSSI di bawah Djohar Arifin Husin mulai dari masalah pemecatan Alfred Riedl, melahirkan klub kembar (atau yang populer disebut dengan club kloningan), kontroversi pengangkatan Bernhard Limbong, kontroversi Persipura Jayapura terkait keikutsertaan "Mutiara Hitam" di ajang kompetisi Asia, dan pemecatan empat anggota Exco.
Masih terkait dengan sepakbola, Tjipta juga membahas mengenai praktek suap dan korupsi yang marak terjadi dalam persepakbolaan khususnya di Indonesia, termasuk juga tentang bagaimana praktek mafia perjudian dalam menyuap wasit atau memanipulasi hasil akhir pertandingan. Tak Cuma Indonesia, mengenai korupsi di tubuh FIFA juga disinggung.
Sementara dalam "Bola Politik" Tjipta membahas bagaimana peta perpolitikan di Indonesia. Bagaimana para politisi itu berakrobat untuk mendapatkan kekuasaan, melakukan lobi di sana-sini, hingga dinamika politik yang terjadi di Indnesia menuju Pemilu 2014.
Kritik untuk buku ini
Pada bagian awal sudah disinggung bahwa buku ini merupakan bentuk eksperimen. Eksperimen, ada kalanya berhasil dan ada kalanya gagal. Sebagai sebuah eksperimen tentu juga belum tentu jelas arahnya ke mana. Namanya juga coba-coba.
Dalam eksperimennya, Prof Tjipta berusaha memasukkan banyak hal. Sepakbola, politik, hingga yang terkait dengan disipilin ilmu yang ia tekuni: komunikasi. Alhasil, timbal pertanyaan: buku ini buku tentang apa? Apakah buku tentang sepakbola, atau kajian politik dengan objek bahasan sepakbola, atau justru buku mengenai komunikasi dengan objek bahasan sepakbola?
Saya berpandangan, ada dua bab yang "mengacaukan" fokus buku ini yakni pembahasan mengenai komunikasi bola dan komunikasi politik. Dalam komunikasi bola Prof. Tjipta membahas komunikasi yang terjadi antara para pemangku kepentingan yang terlibat dalam sepakbola, mulai dari komunikasi antara pemain dalam satu tim, pemain dengan pelatih, pemain dengan wasit, penonton dengan pemain, hingga wasit dan klub sepakbola. Saya berpandangan masih kurang adanya penjelasan antara hubungan antara bab ini dengan keseluruhan isi buku. Kemudian dalam bab mengenai komunikasi politik berisi konsep-konsep teoritik komunikasi politik mulai dari siapa saja aktornya, seperti apa prosesnya, dan contoh kasus yang menampilkan lobi-lobi antarpartai.
Kritik lain adalah soal ketelitian data. Ada beberapa kesalahan penulisan data atau fakta. Misal Silvio Berlusconi disebut sebagai pemilik Inter Milan (hal. 13), pencetak gol Inggris di final Piala Dunia 1966 ditulis George Hurst, seharusnya Geoff Hurst (hal. 99). Kesalahan lain bisa ditemui di halaman 110 yang menuliskan bahwa Indonesia kalah 1-4 dari Malaysia di leg I final Piala AFF 2010, seharusnya skor akhir adalah kekalahan 0-3 untuk Indonesia.
Kesalahan kembali muncul saat Tjipta menuliskan: "… sejumlah Tim Nasional segera mempersiapkan diri secara serius untuk bertarung di Kejuaraan Piala Dunia 2014…. Spanyol sebagai juara bertahan otomatis masuk tanpa harus mengikuti babak prakualifikasi" (hal. 295). Padahal juara bertahan pun kini harus mengikuti kualifikasi.
Satu hal yang diingat dari Tjipta adalah saat Komite Banding menolak banding George Toisutta dan Arifin Panigoro, dan pada waktu yang bersamaan membatalkan pencalonan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie untuk maju dalam pemilihan tersebut. Peristiwa itu terjadi pada akhir Februari 2011.
Seperti diurai situs Sbobet Bola, Melalui buku berjudul Bola Politik dan Politik Bola; Ke mana Arah Tendangannya? Tjipta kembali "menghiasi" persepakbolaan Indonesia, meski kali ini posisinya berada di luar sistem, sebagai pengamat.
Efendi Ghazali dalam pengantar buku ini menyebut: "buku ini adalah sebuah eksperimen (inovatif)…. buku karya Profesor Tjipta Lesmana ini barangkali nantinya layak disebut The Ball Theory of Political Communication…" (hal. vii). Effendi menjelaskan eksperimen dalam buku ini sebagai: "Eksperimen Profesor Tjipta Lesmana dalam buku yang sedang Anda pegang, bergulir dengan gaya tiki-taka yang indah di seputar elemen-elemen: bola, strategi, pemain bintang, glamor/selebritas, gaji besar/biaya besar, mafia, skandal seks, skandal keuangan, dan beberapa unsur lainnya... Penulisnya menjadi analogi dan paralelisme Teori Bola dari Komunikasi Politik Indonesia" (hal. x).
Buku ini terbagi dalam delapan bab. Secara garis besar bisa dibagi dua pembahasan besar yakni mengenai sepakbola dan mengenai politik, seperti halnya dalam judul: bola politik dan politik bola. Tjipta mendefinisikan "politik bola" sebagai seni atau kebijakan tentang sepakbola Indonesia yang dijalankan atau diwacanakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan atau impian untuk itu. Sementara "bola politik" adalah aktivitas perpolitikan yang berujung pada pemilihan presiden 2014 (hal. xxiv-xxv).
Dalam bola politik, Tjipta bercerita bagaimana carut marut situasi menjelang kongres untuk memilih kepengurusan baru di PSSI tahun 2011. Tjipta juga berbagi pengalamannya sebagai ketua Komite Banding yang ia sebut selama bekerja timnya terus menerus mendapatkan intimidasi. Dengan sedikit berkelakar, Tjipta menuliskan: "Yang tidak pernah ada ialah tawaran uang… Pihak-pihak terkait mungkin menyadari bahwa para anggota Komite Banding tidak bisa disogok" (hal. 219).
Tjipta mengecam pihak-pihak yang ngotot menyuarakan kepentingannya sendiri dalam perebutan kursi PSSI-1 tahun 2011, secara khusus kepada GT-AP dan kelompok pendukungnya K78 yang begitu ngotot memaksakan jagoannya untuk maju, padahal sudah ditolak oleh Komite Banding. Tjipta menyebut bahwa sikap ngotot tersebut adalah keliru, karena K78 sudah berani head to head dengan FIFA. Padahal menurut Tjipta sepakbola adalah olahraga yang unik, karena segala peraturan harus tunduk pada FIFA. Tjipta juga membahas kekuatan-kekuatan siapa saja yang berada di balik kubu GT-AP, termasuk pandangan bahwa adanya cambur tangan oknum-oknum tentara (hal. 245).
Tjipta memang menyampaikan kritik cukup pedas terhadap kubu GT-AP, termasuk kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI). Ia menyebut LPI yang digagas oleh AP sejak awal tidak diakui atau ditentang oleh FIFA, dituding sebagai "breakaway league" atau "runaway league" (hal. 257). Apakah kata-kata menentang ini memang pernyataan resmi FIFA atau pendapat pribadi Tjipta? Mantan wartawan olahraga Sumohadi Marsis dalam buku Kritik Olahraga Sumohadi Marsis (2011) berpendapat bahwa penyebutan breakaway league bukan berarti kompetisi tersebut ilegal. Menurut Marsis, breakaway league bisa berarti liga "sempalan" atau bahkan liga "alternatif".
Tjipta selanjutnya mengkritik kepengurusan PSSI di bawah Djohar Arifin Husin mulai dari masalah pemecatan Alfred Riedl, melahirkan klub kembar (atau yang populer disebut dengan club kloningan), kontroversi pengangkatan Bernhard Limbong, kontroversi Persipura Jayapura terkait keikutsertaan "Mutiara Hitam" di ajang kompetisi Asia, dan pemecatan empat anggota Exco.
Masih terkait dengan sepakbola, Tjipta juga membahas mengenai praktek suap dan korupsi yang marak terjadi dalam persepakbolaan khususnya di Indonesia, termasuk juga tentang bagaimana praktek mafia perjudian dalam menyuap wasit atau memanipulasi hasil akhir pertandingan. Tak Cuma Indonesia, mengenai korupsi di tubuh FIFA juga disinggung.
Sementara dalam "Bola Politik" Tjipta membahas bagaimana peta perpolitikan di Indonesia. Bagaimana para politisi itu berakrobat untuk mendapatkan kekuasaan, melakukan lobi di sana-sini, hingga dinamika politik yang terjadi di Indnesia menuju Pemilu 2014.
Kritik untuk buku ini
Pada bagian awal sudah disinggung bahwa buku ini merupakan bentuk eksperimen. Eksperimen, ada kalanya berhasil dan ada kalanya gagal. Sebagai sebuah eksperimen tentu juga belum tentu jelas arahnya ke mana. Namanya juga coba-coba.
Dalam eksperimennya, Prof Tjipta berusaha memasukkan banyak hal. Sepakbola, politik, hingga yang terkait dengan disipilin ilmu yang ia tekuni: komunikasi. Alhasil, timbal pertanyaan: buku ini buku tentang apa? Apakah buku tentang sepakbola, atau kajian politik dengan objek bahasan sepakbola, atau justru buku mengenai komunikasi dengan objek bahasan sepakbola?
Saya berpandangan, ada dua bab yang "mengacaukan" fokus buku ini yakni pembahasan mengenai komunikasi bola dan komunikasi politik. Dalam komunikasi bola Prof. Tjipta membahas komunikasi yang terjadi antara para pemangku kepentingan yang terlibat dalam sepakbola, mulai dari komunikasi antara pemain dalam satu tim, pemain dengan pelatih, pemain dengan wasit, penonton dengan pemain, hingga wasit dan klub sepakbola. Saya berpandangan masih kurang adanya penjelasan antara hubungan antara bab ini dengan keseluruhan isi buku. Kemudian dalam bab mengenai komunikasi politik berisi konsep-konsep teoritik komunikasi politik mulai dari siapa saja aktornya, seperti apa prosesnya, dan contoh kasus yang menampilkan lobi-lobi antarpartai.
Kritik lain adalah soal ketelitian data. Ada beberapa kesalahan penulisan data atau fakta. Misal Silvio Berlusconi disebut sebagai pemilik Inter Milan (hal. 13), pencetak gol Inggris di final Piala Dunia 1966 ditulis George Hurst, seharusnya Geoff Hurst (hal. 99). Kesalahan lain bisa ditemui di halaman 110 yang menuliskan bahwa Indonesia kalah 1-4 dari Malaysia di leg I final Piala AFF 2010, seharusnya skor akhir adalah kekalahan 0-3 untuk Indonesia.
Kesalahan kembali muncul saat Tjipta menuliskan: "… sejumlah Tim Nasional segera mempersiapkan diri secara serius untuk bertarung di Kejuaraan Piala Dunia 2014…. Spanyol sebagai juara bertahan otomatis masuk tanpa harus mengikuti babak prakualifikasi" (hal. 295). Padahal juara bertahan pun kini harus mengikuti kualifikasi.